Neraca Pembayaran, Arus Modal Asing, dan Utang Luar Negeri: Utang Luar Negeri
14.2 Utang Luar Negeri
Utang
luar negeri atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari total utang suatu
negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima
utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk
utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara
lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
·
Jumlah dan asal utang Indonesia
Utang
luar negeri Indonesia lebih didominasi oleh utang swasta. Berdasarkan data di
Bank Indonesia, posisi utang luar negeri pada Maret2006 tercatat US$ 134
miliar, pada Juni 2006 tercatat US$ 129 miliar dan Desember 2006 tercatat US$
125,25 miliar. Sedangkan untuk utang swasta tercatat meningkat dari US$ 50,05
miliar pada September 2006 menjadi US$ 51,13 miliar pada Desember 2006.[1]
Negara-negara
donor bagi Indonesia adalah:
1.
Jepang merupakan kreditur terbesar dengan USD 15,58 miliar.
2.
Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar USS 9,106 miliar
3.
Bank Dunia (World Bank) sebesar USD 8,103 miliar.
4.
Jerman dengan USD 3,809 miliar, Amerika Serikat USD 3,545 miliar
5.
Pihak lain, baik bilateral maupun multilateral sebesar USD 16,388 miliar.
·
Pembayaran utang
Utang
luar negeri pemerintah memakan porsi anggaran negara (APBN) yang terbesar dalam
satu dekade terakhir. Jumlah pembayaran pokok dan bunga utang hampir dua kali
lipat anggaran pembangunan, dan memakan lebih dari separuh penerimaan pajak.
Pembayaran cicilan utang sudah mengambil porsi 52% dari total penerimaan pajak
yang dibayarkan rakyat sebesar Rp 219,4 triliun. Jumlah utang negaraIndonesia
kepada sejumlah negara asing (negara donor)di luar negeri pada posisi finansial
2006, mengalami penurunan sejak 2004 lalu sehingga utang luar negeri Indonesia
kini 'tinggal' USD 125.258 juta atau sekitar Rp1250 triliun lebih.
Pada
tahun 2006, pemerintah Indonesia melakukan pelunasan utang kepada IMF.
Pelunasan sebesar 3,181,742,918 dolar AS merupakan sisa pinjaman yang
seharusnya jatuh tempo pada akhir 2010. Ada tiga alasan yang dikemukakan atas
pembayaran utang tersebut, adalah meningkatnya suku bunga pinjaman IMF sejak
kuartal ketiga 2005 dari 4,3 persen menjadi 4,58 persen; kemampuan Bank Indonesia
(BI) membayar cicilan utang kepada IMF; dan masalah cadangan devisa dan
kemampuan kita (Indonesia) untuk menciptakan ketahanan.
Comments
Post a Comment