Sejarah Ekonomi Indonesia: Sistem Tanam Paksa
2/3.3 Sistem Tanam Paksa
Sejarah
Pada
tahun 1830 pada
saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar
(Perang Diponegoro, 1825-1830),
Gubernur Jenderal Judo mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa
(Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang
kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem
tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah
kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen
utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan
sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu,
dan nila).
Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima
luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan
mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila
pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak
tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang,
desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain. Sistem
tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai
tahun 1835.
Menjelang tahun 1840 sistem
ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah
kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang
serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar
dunia sedang membubung, dibudidayakan. Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda,
sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia
tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta
gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran
belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an,
72% penerimaan Kerajaan
Belanda disumbang dari Oost Indische atau
Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal.
Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan
Belanda pun mengalami surplus.
Badan
operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM)
merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Akibat tanam paksa ini, produksi
beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843,
muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa
Barat. Kelaparan juga melanda Jawa
Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai
kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870,
meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU
Agraria 1870.
Berikut
adalah isi dari aturan tanam paksa
·
Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia
agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau
seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
·
Pembebasan tanah yang disediakan untuk
cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran
pajak.
·
Rakyat yang tidak memiliki tanah
pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah
Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima
tahun.
·
Waktu untuk mengerjakan tanaman pada
tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau
kurang lebih 3 (tiga) bulan
·
Kelebihan hasil produksi pertanian dari
ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
·
Kerusakan atau kerugian sebagai akibat
gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan
terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
·
Penyerahan teknik pelaksanaan aturan
tanam paksa kepada kepala desa
Dengan
adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang
sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem
kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di
pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan
menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport,
sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah
kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport
bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut
menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat
lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu
suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan
bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial
berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk,
rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng
untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan
memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat,
barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan
berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan
kepala-kepala desa itu sendiri.
Comments
Post a Comment