Pengantar Bisnis : Indonesia 2015 Pertumbuhan 5.6%, Bersaing Dengan AS
Memasuki paruh kedua tahun 2014, Pemerintah kini tengah
menyiapkan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun depan. Pada
hari Jumat pekan lalu (15/8), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
menyampaikan keterangan pemerintah atas Rancangan UU APBN 2015 beserta Nota
Keuangannya dalam Rapat Paripurna DPR di Jakarta.
RAPBN 2015
Pada penyampaian RAPBN 2015 tersebut, Pemerintah mengusulkan
asumsi pertumbuhan ekonomi 5.6%, inflasi di kisaran 4.4%, defisit neraca
transaksi berjalan pada 2.32% dari GDP, atau sebesar 257.6 triliun Rupiah,
serta asumsi nilai tukar Rupiah disarankan pada 11,900 per Dollar AS. Selain
itu, rata-rata suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan diasumsikan
pada tingkat 6.2%, dan harga minyak mentah Indonesia diperkirakan 105 dolar AS
per barel. Asumsi-asumsi dasar ini akan menjadi patokan bagi pemerintah
mendatang.
Selain memaparkan asumsi-asumsi dasar makro, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menyampaikan sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah yang akan datang. Beberapa tantangan tersebut diantaranya menjaga berlangsungnya pertumbuhan ekonomi, menekan laju inflasi, serta menghadapi gejolak ekonomi Dunia. Dalam hal ini, Presiden sempat menyinggung mengenai pengaruh kebijakan moneter AS terhadap Indonesia yang bisa berdampak pada nilai tukar Rupiah.
Selain memaparkan asumsi-asumsi dasar makro, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menyampaikan sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah yang akan datang. Beberapa tantangan tersebut diantaranya menjaga berlangsungnya pertumbuhan ekonomi, menekan laju inflasi, serta menghadapi gejolak ekonomi Dunia. Dalam hal ini, Presiden sempat menyinggung mengenai pengaruh kebijakan moneter AS terhadap Indonesia yang bisa berdampak pada nilai tukar Rupiah.
Kenaikan Suku Bunga AS
Salah satu topik yang paling banyak dibahas di kolom-kolom
ekonomi tahun ini adalah kemungkinan Bank Sentral AS, The Fed, akan menaikkan
suku bunganya dalam tahun 2015. Sejak awal tahun ini, The Fed telah
melaksanakan normalisasi kebijakan moneter dengan mengurangi besaran stimulus
moneternya secara bertahap. Stimulus tersebut kemungkinan akan habis dipangkas
pada bulan Oktober 2014. Tahap selanjutnya yang akan dilaksanakan adalah
menaikkan suku bunga. Ditengah ketidakpastian ekonomi global saat ini, waktu
pelaksanaan kenaikan suku bunga tersebut masih belum jelas. Masalahnya, The Fed
tidak akan menaikkan suku bunga sebelum mereka yakin perekonomian AS
benar-benar dalam kondisi prima.
Negara-negara dunia ketiga, khususnya the Fragile Five (Turki, Brazil, India, Afrika Selatan, dan Indonesia) saat ini tengah diujung tanduk menanti-nanti kepastian tersebut. Pasalnya, kenaikan suku bunga di AS telah diramalkan akan memperparah pelarian modal asing (capital flight) yang selama ini menopang neraca pembayaran dan nilai tukar mata uang negara-negara tersebut. Memburuknya data-data ekonomi AS pekan lalu merupakan angin segar bagi mata uang negara berkembang, tetapi kondisi ini tidak diperkirakan akan berlangsung lama.
Sejumlah analis yang diwawancarai Bloomberg Jumat lalu mengatakan bahwa para investor telah bersiap-siap untuk menarik investasi mereka dari negara-negara berkembang. Alan Ruskin dari Deutsche Bank AG menyebutkan, "Bulan demi bulan berlalu, kita semakin dekat ke pengetatan kebijakan moneter (kenaikan suku bunga), kita (ibarat) mengais receh didepan mesin penggilas". Sedangkan Greg Anderson dari Bank of Montreal mengungkapkan, "Orang-orang membeli Dollar dan melarikan diri dari mata uang negara berkembang yang rapuh. Mereka khawatir ketegangan geopolitik akan meningkat tajam, mereka khawatir suku bunga AS akan dinaikkan. Kedua faktor itu bisa mengakibatkan mata uang negara berkembang untuk melemah drastis."
Negara-negara dunia ketiga, khususnya the Fragile Five (Turki, Brazil, India, Afrika Selatan, dan Indonesia) saat ini tengah diujung tanduk menanti-nanti kepastian tersebut. Pasalnya, kenaikan suku bunga di AS telah diramalkan akan memperparah pelarian modal asing (capital flight) yang selama ini menopang neraca pembayaran dan nilai tukar mata uang negara-negara tersebut. Memburuknya data-data ekonomi AS pekan lalu merupakan angin segar bagi mata uang negara berkembang, tetapi kondisi ini tidak diperkirakan akan berlangsung lama.
Sejumlah analis yang diwawancarai Bloomberg Jumat lalu mengatakan bahwa para investor telah bersiap-siap untuk menarik investasi mereka dari negara-negara berkembang. Alan Ruskin dari Deutsche Bank AG menyebutkan, "Bulan demi bulan berlalu, kita semakin dekat ke pengetatan kebijakan moneter (kenaikan suku bunga), kita (ibarat) mengais receh didepan mesin penggilas". Sedangkan Greg Anderson dari Bank of Montreal mengungkapkan, "Orang-orang membeli Dollar dan melarikan diri dari mata uang negara berkembang yang rapuh. Mereka khawatir ketegangan geopolitik akan meningkat tajam, mereka khawatir suku bunga AS akan dinaikkan. Kedua faktor itu bisa mengakibatkan mata uang negara berkembang untuk melemah drastis."
Comments
Post a Comment